Itulah yang Mbah Samidi (70 thn) lakukan saat hujan karena genteng di rumahnya sudah banyak yang melorot, sehingga air dengan mudahnya menerobos masuk ke dalam dan membasahi seisi rumah termasuk badan mbah yang sudah renta.
Mbah Samidi tinggal seorang diri di rumah yang hanya terbuat dari tumpukkan kayu yang disejajarkan, dan lantainya masih tanah yang berganti lumpur ketika hujan. Mbah tidak punya anak maupun istri.
“Kalau hujan saya milih tidur di kolong meja biar nggak kebasahan. Sekalian berlindung kalau sewaktu-waktu rumah saya ambruk terhantam angin,” kata Simbah.
Bahkan, tempat tidurnya saja hanya dipan sederhana beralas tikar lusuh. Mbah juga tidak memiliki kamar mandi. Untuk keperluan MCK-nya, Mbah biasa pergi ke sungai terdekat. Untung saja di rumahnya sudah memiliki penerangan meskipun tidak seberapa.
“Mau bagaimana lagi, saya bersyukur masih punya tempat tinggal meskipun seperti ini,” ucap Simbah.
Puluhan tahun tinggal di gubuk reyot tersebut, Mbah Samidi berusaha bertahan hidup dengan mencari daun cengkeh. Sekilo daun cengkeh yang Mbah kumpulkan hanya dihargai 2 ribu rupiah oleh juragannya. Hasil yang diperoleh tidaklah seberapa karena tak sampai 5 kg daun cengkeh yang bisa Mbah Samidi kumpulkan.
“Hasilnya memang hanya sedikit, jadi saya kalau makan harus hemat dan seadanya,” kata Mbah Samidi.
Meski hidup serba kekurangan, Mbah selalu merasa cukup dan bersyukur masih ada pekerjaan yang bisa beliau lakukan, yang penting beliau masih bisa makan. Padahal, simbah sudah tidak sanggup lagi mencari daun cengkeh karena harus memanjat pohonnya.
“Kalau cari daun cengkeh itu musiman, belum lagi saya carinya harus manjat pohon. Tubuh saya kadang nggak kuat, jadi saya lebih milih nyari daunnya saja,” kata Mbah Samidi.
Saat ini, Mbah Samidi hanya berharap agar selalu diberi kesehatan supaya bisa terus bekerja dan bertahan hidup. Mbah juga berharap agar diberikan rezeki untuk memperbaiki rumahnya yang hampir roboh agar ia tak harus lagi tidur di kolong meja saat hujan turun.